Pagi ini kutatap langit yang basah, hujan baru saja usai mengguyur seantero kota. Mendung masih menggantung dilangit kota Samarinda. Bau khas riwayat hujan tadi malam merayap membelah celah tanah, berdesak sesak dalam hidungku, menguap bersama dendang katak dinaungan semak. Kulangkahkan kaki riang melompati cekungan-cekungan air cokelat yang berbaris acak dijalan pagi ini. Membuat sepatu dan jeans ketatku sedikit kotor. Hari pertama kuliah harus semangat, batinku. Sembari sedikit bergumam pelan melantun empat bait lagu berulang-ulang. Justin Timberlake-Mirror. Melangkah riang.
            Sampai
pada kelima kali bait yang sama itu ku ulang, aku sudah berdiri dialtar gerbang
kampus. Kutengok kedalam, tapi yang kutemukan : lenggang. Hanya ada dua orang remaja
berjilbab, satu dari keduanya sedang sibuk dengan gadgetnya dan satu lainnya
terlihat membaca. Kuseret kaki kesamping kanan remaja putri yang berjilbab
satin merah muda yang asyik dengan tab-nya, ia tetap fokus pada layar besarnya
itu, seakan mati rasa dengan hadirku disampingnya.  Yang satu lagi menatapku ramah, jilbabnya
sedikit berbeda dari yang disampingku. Lebih besar dan longgar. Aku menatapnya
ganjil. “Umurnya pasti masih sangat muda,
kenapa memutuskan untuk tampil aneh seperti itu? Tak lebih seperti ibu-ibu
pengajian”. Aku mendumel dalam hati. Saat kutatap jilbab besarnya risih, Ia
melempar senyum padaku, kubalas senyumnya dengan gerak bibir kaku. Apa ia bisa membaca pikiranku? Batinku. Ia
berpindah tempat kesampingku dengan gerak lambat.
“Assalamualaikum..” Ia berujar sopan. Sembari
membetulkan terusannya yang sedikit terinjak.
“Wa’alaikumsalam..” jawabku kikuk.
“Saya Ulfah, Sastra Inggris 2015”. Ia mengangkat
tangannya kedepanku dan tersenyum.
“Saya Nurul,, Sasing 2015.” ku sambut tangannya dan
balas tersenyum. Kali ini aku berhasil membentuk gerak bibir ikhlas.
Itulah awal perkenalan kami, perkenalan yang
mengantar kami kepada kisah persahabatan yang akan beruntut berbaris
setelahnya. Aku rasa Tuhan sudah menggoreskan sketsa takdir terindah-Nya diatas
kanvas cerita kami. Tuhan menakdirkanku untuk bisa duduk dalam kelas yang sama
dengan Ulfah. Menambah akrab persahabatannya denganku. Hari-hari selanjutnya, Ulfah
sering menghabiskan waktunya bersamaku, menemaniku di kost bahkan menginap-pun
lumayan sering. Aku banyak mengamatinya, setiap tindak-tanduknya dan banyak
belajar darinya. Ia sangat berbeda dari yang lain, saat mata kuliah tuntas, tak
seperti banyak mahasiswa yang memilih kongkow,
ia akan memutar badan bergerak lincah menyeret kaki menyerbu masjid
terdekat untuk menunaikan shalat, saat waktu lenggang bukannya sibuk dengan
gadget seperti hampir sebagian mahasiswa ia akan terlihat khidmat membaca
lembar demi lembar Al-Qur’an dan hal yang paling membuatku salut, ia bersahabat
kepada semua orang, tanpa memandang apa latar belakang orang tersebut. Aku
mengaguminya.
Ia terkadang menarik sopan lenganku saat adzan
berkumandang, lantas kami melangkah berdampingan berkejaran dengan lantunan
adzan.
“Shalat itu hal yang harus selalu jadi prioritas ukh.
Shalat itu kebutuhan kita kepada Allah, bukan kebutuhan Allah kepada kita.” Ia berujar
lembut sambil melipat mukenah saat kami selesai menengadah didepan
Multazam-Nya. 
Ulfah juga membawa dua Al-Qur’an didalam tas
kecilnya. Menaruhnya didalam tasku dan meminjamkanku. Dia tahu, dikostku tidak
ada Al-Qur’an karena aku lupa memasukkannya dalam ‘list dibutuhkan’ saat
pertama mutasi ke kost. Semua yang diberikannya kepadaku membuatku haru, hal
yang tak pernah aku dapatkan dari orang lain. Membuat dinding jiwaku diketuk
riuh penyesalan masa lalu. Ingin rasanya aku kembali kemasa lampau dan
mengenalnya lebih awal. 
Jenjang satu bulan aku mengenalnya, satu demi satu
perbuatan buruk yang acap kali kulakukan kutinggalkan. Benar kata pepatah
“Seseorang akan mencocoki kebiasaan teman karibnya”. Hari-hari berikutnya, aku
dibui rasa penasaran. Celah-celah obrolan kami disesaki pertanyaan-pertanyaanku
seputar keislaman dan ia dengan sabar menjawab semua pertanyaanku tanpa
memandangku rendah. Bahkan kata-kata yang (mungkin) mudah baginya namun asing
ditelingaku seperti ukhti, akhi, akhwat,
ikhwan, afwan, syukran dan yang lainnya kutanyakan padanya, ia mendikte
arti dan menjelaskan satu persatu kata-kata tersebut dengan sangat sabar.  Ia berusaha mengajar tanpa sedikitpun
mengguruiku. Ia juga tak pernah absen mengajakku menghadiri agenda mentoring
setiap seminggu sekali. 
“Untuk membasahi ruh jiwa kita ukh.. seminggu sudah
sibuk dengan urusan duniawi maka tak ada salahnya bahkan masuk kepada ranah
kewajiban untuk memberi makan ruh rohani kita”. Ia menjelaskan dengan gurat
wajah menyenangkan saat kutanya alasannya gigih membatalkan rapat oraganisasi debating yang ia ikuti untuk tetap hadir
dalam agenda mentoring ini.
Masuk bulan kedua aku mengenalnya, aku mengamatinya
lekat, dalam balutan terusan panjang dan hijab besarnya itu ia terlihat sangat
anggun. Busana itu membuatnya dihormati, tak ada yang pernah menatapnya lekat
dan berujar sembarangan kepadanya sepanjang ingatanku mengenalnya. Akhirnya, aku
berusaha memberanikan diri, menghubungi ibu dan ayah meminta izin dan doa untuk
berhijrah. Mereka mengucap syukur berulang kali saat kuberitahu niatku, karena
mungkin sebelumnya mereka hampir lelah menasihatiku untuk berjilbab dengan
lebih benar dan rutin menunaikan shalat. Aku menutup rapat telingaku saat itu, astaghfirullah aku terpuruk dalam sesal
saat mengingatnya. Saat itu juga aku tegas memutuskan me’rumahkan’ jeans-jeans dan
pashminaku di kardus-kardus bekas dan menggantinya dengan rok, terusan panjang
dan jilbab yang lumayan besar,. Buah dari tabunganku sejak SMA. Aku berusaha meng-imitasi penampilannya. Meski jumlah rok
dan terusan panjangku saat itu tak banyak, aku berusaha terus tegap menuju satu
misi Syar’i. Masih terpatri jelas
dalam ingatanku saat pertama kali kukenakan gamis ungu tua dan atasan Rabbani
ungu muda kekampus, ia menatapku berbinar mengucap syukur dan memujiku terlihat
cantik dengan gamis dan jilbab yang kukenakan. Aku.. merasa bahagia dan semakin
menggantung azzamku diangkasa untuk istiqomah. Dilain sisi, aku berusaha
memperketat waktu shalatku, membuatnya sedisiplin mungkin. Aku, saat itu
memutuskan dengan tekad melangit akan mengikuti jejaknya. Aku menguatkan niat
dan bulat memutuskan berhijrah. 
***
Saat itu senja baru saja beranjak diganti tahta
rembulan ditemani formasi gugus bintang dilangit, saat remang bohlam lampu Islamic Center menyentuh dinding-dinding
pot tanaman hias, aku baru saja keluar dari dalam ruang utamanya setelah
menunaikan shalat maghrib dengan Ulfah. Ia mengajakku duduk dialtar depan
masjid besar ini sembari melepas penat.
“Ulfah..”
 aku berujar setengah berbisik kepadanya.
Memecah sunyi.
“Iya?”
Ia memutar badannya menghadapku, “Ada apa rul?”
Aku kalap, kata-kata yang sudah kupikirkan buyar
mengepakkan sayap meninggalkanku dalam kebingungan. 
“Kenapa
rul?” ia menyentuh pundakku pelan.
“Aku..” terputus lagi, aku diam cukup lama, hening
terciptakan diantara kami. Ulfah menatapku riskan. Aneh dengan sikapku..
“Nurul?” Ia berujar lagi
“Bantu aku berhijrah secara kaffah fah.. doakan aku”
akhirnya kalimat itu mengalir. Dua detik setelah kalimat itu keluar, mataku
terasa panas, mengembun dan tanpa izin bulir-bulir air itu menganak sungai.
Ulfah mendekat, menggenggam tanganku yang didingin sembari mengusap punggungku
dengan lembut. Ikut terisak. 
“Alhamdulillah yaa Rabb, Bismillah, Insya Allah ukh, akan kubantu sebisa mungkin, Ahlan wa Sahlan” Ia menasbih nama-Nya,
berkata pelan dan sedikit tergugu dalam tangis. Suanana haru maghrib itu,
bersama derik sunyi semilir dari timur. Suasana haru biru yang menjadi awal
perjuanganku.
****
Lolong malam dalam sunyi yang membungkus habis
rembulan, jubah kelamnya menelan mentah-mentah gugus bintang. Mengantarku
kembali keperaduan, mengadu pilu dalam bait-bait ratap yang panjang. Berharap
pias sinar bola kemuning raksasa esok hari melumat habis rasa sesal yang pekat
oleh rona dosa ini. Aku melihat kalender biru muda diatas box, hari ini 20
Oktober. Umurku sudah merayap keangka 18 tahun. Aku mengingat-ingat kejadian
tadi siang saat mentoring.
“Nurul.. ini dari kami. Tak seberapa tapi semoga
diterima. Baarakallahu fii umurikum ya..
semoga Allah semakin menguatkan hijrahnya”. Kak lina menyela beberapa kata
sebelum majelis ditutup, dari dalam tasnya ia mengeluarkan kotak kado pink. Aku
menatap sekeliling lingkaran, semua menatapku tersenyum. Aku menatap Ulfah, dan
tak usah ditebak dengan sulit sudah pasti dia dalangnya. Aku masih menatap
Ulfah dan tanpa sadar kotak pink itu sudah berpindah ketanganku, aku membukanya
dengan gerak ragu, bergantian menatap sekelilling dan kotak itu. Terbuka…
Jilbab merah muda dan Mushaf cantik berwarna ungu duduk manis didalamnya. Aku
menatap mereka, mengucap banyak terima kasih. Diluar mushalla sedang gerimis,
didalam hati juga gerimis. Aku menggigit bibir, menangis tersentuh. Formasi
lingakaran majelis yang tadinya rapi, berhambur kearahku. Membuat formasi
lingkaran acak memelukku.      
Aku terlelap dengan mata basah malam  ini. Memohon ampun, menasbih syukur atas
karunia yang Allah berikan dan berharap diberikan kemudahan melangkah
dijalan-Nya.
Aamiin … 
NB :
Semoga akan semakin banyak “Ulfah” dalam pergerakan
dakwah Islam ini, yang tak putus merekrut tunas-tunas da’iyah tangguh  dengan cara yang hikmah.  
Untuk catatan, cerpen ini murni fiksi belaka. Syukran.
#Mendukungmu-Melangit (To Syar’i)

masyaallah... keren kak, izin share yaa ^^
BalasHapus