Sang Murabbi,
Ia adalah Qudwah dalam detak jantung ummat ini.
Tanpanya, matilah segala syaraf perjuangan di medan dakwah ini. Dari
tangannya-lah kader tangguh pergerakan ini lahir, tumbuh, terdidik dan
me-regenerasi pendahulu.
Keikhlasan serta kerja keras mereka adalah komposisi
dalam setiap episode dakwah ini. Mereka adalah orang-orang yang saling
bersaudara dalam susah dan senang, dalam tawa dan tangisan. Mereka adalah
orang-orang yang abai cemohan tetapi keras terhadap kemaksiatan. Ba’al hinaan
tetapi geram kepada kedustaan. Usia mereka mungkin tidak terlalu panjang,
tetapi ajaran yang mereka bawa bertahan melebihi panjang usia mereka.
Saat menulis ini, tiba-tiba saya teringat perkataan
Alm. Ustadz Rahmat Abdullah, seorang Murabbi senior yang semoga Allah merahmati
beliau, beliau berkata dalam sebuah kesempatan “untuk apa-lah usia yang
panjang, namun tanpa isi”, tersentak diri saya, bagaimana dengan usia yang
sudah kita habiskan? Penuh dengan amalan kah? Full dakwah kah? Atau malah sesak
maksiat? Penuh perbuatan yang tak mengundang manfaat tapi malah gudangnya
mudharat? Mari bersama kita bermuhasabah diri. Jangan-jangan kita menganggap
diri termasuk dalam barisan tapi nyatanya tertinggal sendirian dibelakang.
Jangan-jangan kita mengira sudah maksimal berdakwah, tapi hakikatnya seujung
kuku pun tak ada.
Karena dalam barisan ini
terpecah menjadi dua jenis kader dakwah, ada yang lelah lantas lirih mengucap
lillah ada juga yang lantang berteriak lillah tetapi tak henti mengeluh lelah.
Sudah barang tentu, para Murabbi adalah yang meski badannya habis dicabik-cabik
cobaan dan fitnah tapi ia tau jelas tujuannya, “Lillah”.
Samboja, 07 Juni 2016
0 komentar:
Posting Komentar