Arfan Gafar Kamal. Lewat tiga kata itu dirinya biasa
disebut. Adik keduaku, sekaligus adik kandung terakhir dari dua sisi yang sama.
Petualang rimba dan penjelajah sungai yang ulet. Tergambar dari wajahnya yang
penuh coret dan legam.
Sebenarnya ia lahir sebagai anak yang montok, putih
dan elok. Batang hidungnya paling tinggi dikeluarga kami, mancung dan kecil.
Bulu matanya panjang melengkung lentik, aku sering menggugat mengapa bulu mata
lentik seperti itu malah diberikan kepada laki-laki dalam keluarga kami,
sedangkan kami yang perempuan kedapatan bulu mata kaku yang pendek. Disamping
itu, matanya juga belok dan cantik. Tapi alam membentuknya, hobinya yang aneh
untuk takaran anak zaman ini membuatnya menjadi sosok yang berbeda. Pagi ia
bermain deras arus disungai, memasang perangkap ikan, dan menatap awal harinya
dengan antusiasme, ketika matahari naik sepenggalan ia beralih kedaratan,
memandang sabat liar sebagai ranah buruannya yang baru. Ia kembali memasang
jerat untuk burung sederhana buatan sendiri, berharap ada burung bodoh yang masuk
dalam perangkapnya. Sore hari ia kembali ketempat perangkapnya, berharap satu
dua ikan dan burung akan dia panen. Bahkan malamnya, ia kembali beraksi
dirumah, memasang perangkap tikus dengan umpan bakwan basi yang tergantung
pasrah dalam perangkap tikus yang berhasil ia minta (baca: ngemis) kepada
bapakku. Membuat mamaku selalu berdecak marah karena koleksi peliharaannya yang
rada-rada.
Dia memang sedikit ‘aneh’. Ia tak akan pulang sampai
matahari tumbang dibarat. Membuat kami (orang rumah) terbiasa, rutin mendengar
keluhan dan kekhawatiran mama ketika sore datang. Tapi anehnya, dengan
rutinitas (tidak) pentingnya itu, ia termasuk orang yang cukup cerdas
disekolah. Tak pernah keluar peringkat 5 besar dikelasnya.
Kecerdasannya dalam menghitung, mendukungnya menjelma
menjadi anak kecil berotak cina yang selalu pintar mengubah situasi apapun
menjadi menguntungkan. Ia gemar sekali berdagang. Melihat jambu air menggantung
ranum dibelakang rumah, ia jual saat mengaji. Melihat kakak sepupu berjualan es
lilin dirumah, ia menawarkan jasa untuk menjajanya kesekolahan dengan upah
sepersekian persen setiap batang esnya. Dan berjejer urusan dagang-berdagang
lainnya.. Orang tua tak pernah memerintahkan apalagi mengharuskan dia untuk
melakukan itu semua. Keputusan itu dia sendiri yang pilih. So, uangnya murni
untuknya.
Aku ingat, suatu kebanggaan lebih saat ia duduk
dikelas 3 SD, saat mama ke pesantren menjengukku, membawa serta dia.
Teman-teman akan bergerombol mengelilinginya dan memberondolnya dengan
serentetan soal matematika tanpa coretan/diluar kepala kepadanya.
“11-2+4-5-7+14-6+15 = ..?”
“15-7+6+22-3-6+10=..?”Tanpa ragu ia akan menjawab
beberapa detik setelah soal itu dilontarkan. Cukup mengesankan untuk anak
seumurannya saat itu. Kelas 3 SD.
Adikku yang satu ini, tidak cerewet masalah makanan.
Bukan karena ia suka melahap segalanya, tapi karena dia hanya suka satu jenis
makanan: Tempe. Dipiringnya hanya akan kau temui tempe yang tergeletak pasrah
diatas nasi dengan kuah sayur dan lumuran kecap manis. Monoton. Itu-itu saja.
Pernah kami sekeluarga terkikik geli karena perkataannya: “nanti kalau dewasa
aku nikah sama orang jawa aja ma, supaya makannya tempe.” Sangking takut dia,
akan menu monotonnya itu terganggu di masa depan.
Arfan.. suatu
saat jika kau temui post kakakmu yang tidak penting ini dimasa depan saat kau
sudah tak repot lagi dengan urusan jerat-menjeratmu dan mulai mengenal maya..
maka catat diluar kepala nasehat yang sudah sering kakak katakan padamu. Kita
adalah harapan orang tua, maka kita harus berbuat sebaik mungkin, belajar yang
keras dan tekun, usaha sekuat mungkin karena kita harus menjadi gerbang
perbaikan hidup keluarga kita dimasa depan. Ubah pola makanmu yang monoton,
cobalah makan sayur dan daging. Dan selebihnya jika memang sempat kau menengok
post kakakmu ini, kamu mungkin sudah besar dan cukup dewasa untuk memutuskan
dan memikirkan.
Sekian dulu..
Kakakmu .. Awaliah Nur Annisa.
0 komentar:
Posting Komentar