Perempuan seharusnya...


Menjadi perempuan dalam kungkungan perspektif masyarakat (Indonesia, khususnya) memang sedikit banyak menyiksa. Naturally, perempuan akan selalu dikaitkan kepada karakteristik tertentu yang katanya, ini loh yang “perempuan banget”.  
Seperti kerangkeng yang mengikat, kadang kita (baca: perempuan) merasa lentur dan terikat dengan norma-norma yang ada dimasyarakat ini. Bahwa kita harus ini dan harus itu. Alasannya sederhana: ini berlaku sejak lama dan dipercayai. Buruknya ketika kita berusaha melangkah keluar koridor, sama artinya dengan menentang langit yang menciptakan kita sebagai “perempuan”.
Ekstrimnya, ada yang menerima hal ini dengan senang hati. Lantas terikat sampai mati dengan pikiran super picik ini. Mati mengenaskan dengan tidak sempat tahu apa sebenarnya yang bisa ia lakukan sebagai seorang perempuan.
Dulu ibu saya mirip-mirip dengan orang kebanyakan, percaya bahwa perempuan akan selalu lekat dengan hal-hal tertentu. Ia percaya, ini berlaku sejak masa yang tidak bisa ditakar kapan mulainya. Tapi syukurnya, Ibu saya adalah salah satu orang yang berhasil keluar dari jerat pikiran beracun tersebut, terlebih saat ia punya saya. Ia percaya, bahwa anak perempuannya, bisa jadi sesuatu yang lebih besar dari apa yang selalu orang banyak yakini.
Dan sikap ini menular kepada saya.
Saya adalah perempuan paling sensitif jika ada yang berbicara dengan nada sumbang tentang perempuan. Entah nada tersebut datang dari suara laki-laki atu perempuan itu sendiri.
Saya akan menjadi yang paling sewot memberi tanggapan ketika ada orang yang meremehkan kami, hanya karena kami “perempuan”.
Atau saya yang akan menjadi orang yang sontak marah-marah paling pertama saat ada perempuan melemahkan diri dan melimit kemampuannya hanya karena ia tercipta sebagai seorang “perempuan”.
Tapi kenyataan tersebut tidak lantas membuat saya menggugat kodrat saya sebagai perempuan, saya sadar banyak hal. Ada hal-hal yang tidak bisa disentuh ranahnya. Salah satunya adalah agama. Saya tidak mempertanyakan tugas besar seorang perempuan yang menjadi makmum dalam rumah tangga, seorang makmum yang harus tetap shalat berdiri dibelakang suaminya. Saya tidak menggugat tugas seorang ibu yang mempunyai peran membesarkan anak-anaknya.
Yang saya gugat adalah ..
Persepsi bahwa suara perempuan selalu menjadi opsi kedua dalam sebuah keputusan.
Pandangan bahwa perempuan tidak cukup kuat untuk punya peran dalam sebuah perubahan.
Anggapan bahwa perempuan hanya harus mengikuti apa yang berlaku, tanpa punya kesempatan yang sama untuk bersuara.
We have the same chances. No matter what gender you are. No matter you are a man or a woman. In this case, we are equal.
Jadi, siapapun yang berusaha menghalang-halangi perempuan untuk ikut berpartisipasi hanya karena kami “perempuan” mungkin harus ikut kelas khusus untuk belajar menjadi manusia seutuhnya. Bukan setengah-setengah. 

Catatan Lepas (02)


Memang sulit meredam suara-suara bising yang ingin kita padam.
Tapi satu hal yang pasti adalah bahwa mengaku kalah dan angkat bendera putih bukan gayaku.

Teruslah menjadi sederhana, apapun kemewahan yang akan datang kedepannya.
Tetaplah berlaku penuh tanya pada jawaban yang seolah nyata benar adanya.  
Berlakulah penuh kejujuran, sekelam apapun kebenarannya.
Karena ternyata.. 
Setelah lama ku refleksi..

Yang membuatku pertama kali menyatakan "tertarik", malah kutemukan sehari setelah kau dengan berani memaparkan dengan jujur segalanya.

Tidak biasa memang pada awalnya, ada nyeri seolah dicabik keyakinan sendiri.
Apalagi mendengar apa yang ditutur banyak orang tentangmu. 
Tapi ku kuatkan diri, ingat si pemintal cerita kenamaan dalam tetraloginya pernah berujar; bahwa orang yang berpendidikan harus berlaku adil bahkan sejak dalam pikiran, apalagi dalam perbuatan.
Maka kuputuskan untuk berusaha objektif.
Yakin bahwa pasti ada cerita dari sudut pandang lain yang lebih pantas didengarkan. Dan barang tentu pantas dipertimbangkan.

Pendapat umum perlu dan harus diindahkan, dihormati, kalau benar. Kalau salah, mengapa harus dihormati dan diindahkan? 

Again (?)


Beberapa waktu yang lalu, saya membaca thread seorang wanita di twitter lewat SS teman saya di Line. Dan saya setuju dibanyak hal (atau bahkan semua hal) tentang threads-nya.
Tapi yang paling saya setujui adalah part dimana dia bilang seperti ini..
“...Kita dilatih sejak kecil untuk berprasangka pada anak-anak terpandai dikelas. Caper keguru, lah. Sok pintar, lah. Tukang pamer, lah.
Sebegitunya sampai stigma ini melekat bukan hanya pada orang yang pintar, tapi juga pada “perbuatan” yang kita kaitkan dengan “kepintaran”.
Misalnya: membaca, bersikap asertif (banyak bertanya, menyanggah, atau berpendapat) dalam diskusi dan di ruang publik, bahkan menulis. Orang yang melakukan hal-hal di atas akan dikenai beban berlipat: 1) dia pasti pintar, karena hanya yang pintar yang berhak melakukan dan--
2) jika memang dia pintar, maka tidak seharusnya dia melakukan hal-hal yang menujukkannya, karena menujukkan kepintaran itu tidak baik.
….….
Membaca, berpendapat dan sebagainya bukan monopoli orang pandai atau penanda kepandaian. Justru semua itu kita lakukan agar menjadi pandai.”

Boldly, saya tidak pernah merasa saya yang paling pintar dikelas. But it happens to me, sometimes. Ketika saya mulai bersikap lain, contohnya bertanya banyak hal kepada guru, mempertanyakan ini itu kepada teman, menyiapkan pertanyaan saat sesi presentasi atau menangkis suatu statement, atau hal-hal sejenis.. tiba-tiba seisi kelas seakan-akan mengarahkan pandang kesaya dan menuding hal-hal tidak masuk akal yang jauh dari niat awal saya yaitu berpartisipasi penuh dalam kelas. Bahkan ketika saya mulai memancing diskusi misalnya, semuanya seperti merasa keberatan dan memilih pura-pura tidak dengar, tutup telinga serapat mungkin. Menujukkan ketidak-tarikan yang jelas, sedetik setelah saya memberikan umpan. Menyakitkan? Tidak juga. Saya optimis, masih banyak orang lain yang mungkin benar-benar tertarik diluar sana. But, anyway.  
Dan jujur, kadang saya juga sering bersikap tidak masuk akal seperti mereka. Saya akan tiba-tiba memberikan judgment “si cerdas” atau “si kritis” jika dalam seminar ada sosok menonjol yang tampil dengan banyak pertanyaan.
Padahal … mungkin saja kita yang harus mengonstruksi ulang paradigma berpikir kita. Karena hal-hal itu sebenarnya bukan hak paten milik si pintar berotak jenius, atau si kritis dengan segunung pengetahuan dibalik otaknya.
Bertanya, berpendapat, atau menyanggah sekalipun adalah hal yang bisa dilakukan semua orang. Siapapun.         

Ramadhan Kareem







Ya Rahman.. sampai lagi kami di Ramadhan-Mu tahun ini.

Ramadhan kali ini Indonesia satu suara. Serentak memutuskan setapak dalam satu keputusan besar bersama. Maghrib dimana hilal disepakati nampak diberbagai titik menjadi euforia dua ratus juta lebih warga Indonesia. Tarawih digelar, pesan-pesan singkat segera dikirim ke sanak saudara yang jauh nun disana. Memohon maaf jika ada salah yang diperbuat selama perjalan menuju ramadhan tahun ini. Memohon keikhlasan tentang kemungkinan-kemungkinan adanya perilaku yang tak sesuai di hati. Tangan-tangan ditengadahkan, meminta ridho yang Maha Raja agar diperkenankan menjadi pejuang tangguh hingga penghujung nanti. Memohon supaya shaum tahun ini bisa lebih sesak amalnya dibanding tahun-tahun yang lalu.

Ramadhan nanti, siangnya penuh berkah, bahkan gelap-nya pun memberi pelajaran..  

Tiada kesenangan yang paling menyenangkan bagi seorang mu’min dibanding kenikmatan mengecap kesempatan untuk bisa lebih dekat dengan pencipta-nya. Dan ramadhan adalah momen yang tepat. Dimana pahala kebaikannya langsung dari Allah, dimana amal kebaikan dilipat gandakan sedemikian rupa, maghfirah dibuka selebar-lebarnya. Maka gunakan waktu yang hanya sekitar 29-30 hari ini untuk semakin akrab dengan Allah, semakin paham apa tujuan kita diciptakan didunia ini.  
Selamat berjuang ya.. :) Insya Allah bersua lagi, 1 Syawwal.

Catatan salinan : Samboja, 01 Ramadhan 1438 H

Parcel Mini La Tansa


Karya: Nurul F. Huda

Novel setebal 234 halaman ini sukses membuat saya senyum-senyum sendiri. Kadang juga terkikik geli. Kalimatnya sederhana, renyah, mudah dipahami dan tentunya.. kocak. Saya melahap habis novel ini hanya dalam sekali duduk, bukan karena saya expert reader atau yang lain. Tapi karena selain halamannya yang tidak terlalu banyak, juga memang novel ini sangat menarik. Cocok dengan keadaan saya yang sedang berat pikiran. Novel ini seperti merefresh otak saya agar tidak tegang.
Bercerita tentang perjalanan lima orang sahabat dari strata sosial yang beragam, mimpi yang tak sama dan karakter yang berbeda langit bumi. Adjie si borju yang kelewat murah hati, Arief ; lelaki polos yang didalam kepalanya sudah hinggap setengah dari mushaf, calon Da’i kata mereka, Fely; lelaki yang sedikit feminine, si koki andalan yang juga sibuk didunia entertain-nya, Jimmy; calon dokter hewan, manajer keuangan La Tansa yang sangat rinci dan hemat (baca: pelit) dan Hary; leader La Tansa yang kerjaannya ngebossy, seorang komikus yang sangat produktif. Mereka lebur dalam sebuah visi mulia: Dakwah. Mereka berusaha menyajikan sebuah kemasan dakwah yang dibungkus modern dan sesuai dengan zaman: La Tansa Male Café. Café khusus laki-laki yang dibangun susah payah dengan peluh mereka. Dengan berjuta cerita didalamnya.
Dalam novel ini saya melihat semangat kader dakwah yang kreatif dan mandiri.  Cocok untuk siapa saja yang mungkin sedang futur berat dijalan dakwah ini atau hanya recommended buat yang lagi berat kepalanya dengan beban dan butuh obat refresh. Try to read this novel.     


Disalin dari catatan tanggal: 17 Mei 2016

Bersedihlah..


Tak perlu sedih jika ditinggalkan oleh manusia, sedihlah jika kau jumpai dirimu diacuhkan oleh Allah dalam maksiat. Tidak terketuk pintu hatimu saat disapa nasehat, berpaling engkau saat diajak merapat.
Bersedihlah, sesedih-sedihnya.. jika ternyata kau temukan dirimu malu dengan produk Sunnah, tetapi berkoar bangga dengan kreasi racikan akhir zaman. Menghindari yang ma’ruf dan tak absen dari yang munkar.
Menangislah.. jika amalan yang kau anggap membukit, ternyata hanya seujung kuku. Perilaku yang kau yakini baik, ternyata mengundang cela.
Malulah.. jika kau lebih memilih menggadai semua yang kau punya kepada syahwat dunia, dan tak memilih jual-beli dengan Allah yang sudah tentu pasti.
Tepuk dadamu.. tanya imanmu. Apa sudah benar jalan yang kau pilih? Apa telah sesuai dengan yang telah ditentukan?

#Reminder (Especially, to myself)

Waktu

Waktu adalah rahasia paling misterius dalam hidup. Dimensi yang tak akan mampu disentuh langsung oleh manusia manapun. Mozaik paling rumit yang tak mungkin diraba akal dangkal manusia biasa.
Waktu juga selalu mengundang definisi berbeda dari setiap yang ada didalamnya. Yang menunggu berkata waktu adalah dimensi panjang yang membosankan. Sedang yang sedang berbunga membantah tegas, waktu hanyalah rangkaian kejadian pendek yang melompat cepat tanpa henti. Ringan dan menyenangkan. Yang meratap berbeda lagi, ia akan sendu menjelaskan bahwa waktu hanyalah lolong kepedihan yang menekan perasaan. Pedih dan sangat tidak membahagiakan, menyiksa.
Bagiku.. waktu adalah rangkaian sporadis, tidak tentu, dan kadang kala mengejutkan. Aku sering tertawa didalamnya, namun tak sedikit juga menangis. Kadang perasaanku melambung naik karena bahagia, kadang juga waktu menontonku tersungkur dengan wajah sembab.
Kehebatan waktu selalu membuatku berdecak kagum. Jika terjebak nostalgia dengan orang tuaku misalnya, membicarakan masa lalu, betapa hebat waktu mengantarku begitu cepat hingga kedetik ini. Mengecap beribu bahkan berjuta kenangan serta kejadian dengan begitu tak terasa.
Menjelma dari gadis kecil ingusan menjadi wanita setengah matang. Dari gadis kecil berseragam merah putih lusuh hingga menjadi mahasiswi seperti saat ini. Jujur, membayangkan bahwa waktu akan kembali mengantarku kepada skenario hidup baru yang tak sama sekali bisa kutebak script naskah dan alurnya membuatku sedikit cemas. Akan seperti apa aku dimasa depan? Pertanyaan yang selalu menggema mamantul dalam benakku. Satu yang aku yakini benar, bahwa yang harus kulakukan sekarang adalah melakukan yang terbaik dimasa sekarang dan bersimpuh mengangkat tangan kepada yang menguasai sang waktu agar diberikan sisa waktu untuk terus melakukan perbaikan.