Setangkup Cinta dari Pondok Pesantren



Tiba-tiba rindu itu menyeruak, menuntut jemari ini menari tanpa komando. Sedang dalam pikir berkelebat ingatan tentang kenangan lama. Kenangan yang akhir-akhir ini mencuat ditengah sesaknya kesibukan mengejar hal-hal duniawi. Kenangan yang seakan-akan datang sebagai pengingat bahwa dunia bukan satu-satunya jalan menggenggam bahagia.
Aku ingat jelas hari itu, hari pertama resmi menyandang gelar santri di pondok pesantren yang terletak hampir ditengah hutan itu. Aku hanya meringis pada mama melihat jalanannya yang membuat tubuhku terguncang, saat pertama kali diantar menggunakan angkot yang beliau sewa untuk membawa lemariku. Mama hanya banyak diam sepanjang perjalanan, aku tahu jelas alasannya. Menjadi santri adalah hasil rembugan dato (baca: kakek) dan bapak, bukan mama. Keputusan akhir jelas; mama kalah suara.
Pesantren itu sangat tenang saat pertama aku datang. Tidak banyak kegiatan didalamnya. Hanya ada beberapa wanita muda yang lalu lalang dengan jilbab besarnya. Aku bahagia hari itu, tak lama lagi semua perintah mama akan jarang kudengar. Disuruh ini, disuruh itu. Jangan ini dan jangan itu. Tapi kenyataan menertawakan espektasiku. Belum genap tiga hari aku menetap, aku sudah merindukan sosoknya.
Aku sontak menyesali ide “nyantri” ini, dan mengutuk siapa saja yang menjerumuskanku dalam ide tersebut. Dalam bayanganku saat diujung perjuangan kelas 6 SD nyantri adalah ide yang sangat cemerlang. Segalanya akan menjadi mudah dan menyenangkan didalamnya. Nyatanya aku tersiksa lahir bathin saat awal dipesantren dulu, bayangkan saja untuk kesekolah jarak yang membentang antara asrama dan gedung sekolah adalah kurang lebih satu kilometer. Belum lagi kenyataan bahwa aku harus mencuci, menyetrika dan menyiapkan bajuku sendiri. Tiba-tiba aku membenci segala tuntutan aktivitas tersebut, terlebih memakai jilbab segi empat kaku untuk sekolah (maklum, dizamanku jilbab paris/segi empat tidak booming seperti sekarang), aku pernah menangis karena terlanjur dongkol gara-gara jilbab yang semenit kupakai semenit kemudian sudah mencong sana sini. Tak karuan.
Juga tentang kamar mandi yang tidak setubuh dengan asrama. Harus keluar dari asrama sejauh beberapa meter, melewati taman, rumah ibu dapur dan pohon mangga besar tempat bercokol jin-jin yang tak tahu dari mana rimba asalnya. Membuatku tersiksa setiap malam, karena kebelet buang air kecil. Alhasil, aku menahannya hingga shubuh menjelang. Tersiksa, jelas.
Belum lagi menu makannya yang kadang membuat tenggorokanku seret. Tak sesuai dengan versi makanan yang sesuai dengan tenggorokanku. Tempe yang terlampau garing, kangkung yang berkuah terlalu banyak dan keras, atau terong pedas yang hanya dimakan dengan nasi. Lauk ayam tiba-tiba jadi primadona yang jarang ditemui dipesantrenku. Hasilnya, aku makan dengan bersungut-sungut atau malah memilih tak makan sekalian dan meringkik dikasur diserang maag.
Semuanya membuatku rindu rumah, rindu mama, rindu adik-adik, rindu bapak dan semuanya..
..
Seperti baru usai kemarin sore, saat kami, hampir setengah kelas duduk beruntun ditangga menurun dekat mushalla kecil pesantren kami dan menangis terisak bersama. Alasan klasik santri diawal perjuangan: rindu ibu. Yang kusadari adalah kenyataan bahwa yang tersiksa selama beberapa hari dipesantren ini ternyata bukan aku seorang. Hampir purna satu kelas. Kadang aku mengingat geli peristiwa itu, isak kami nyaring dan bersamaan seperti dikomando.
..
Seminggu awal penuh dengan perkenalan dan cerita MOS. Di Indonesia, orientasi sepertinya selalu saja jadi ajang menakutkan bagi murid baru, dimanapun ia memilih bersekolah. Karena dihantui bayang-bayang akan dipermalukan senior, atau malah mempermalukan diri sendiri di depan senior.
Di pesantren ku, MOS menjadi event yang cukup berkesan. Kami dibagi menjadi beberapa kelompok. Kelompokku terdiri dari empat orang, dan aku yang ditunjuk sebagai ketua kelompok. Mengemban tugas menjadi komando yang akan bertanggung jawab penuh terhadap setiap anggota. Berat dan menantang. Orientasi ini penuh dengan games, mulai dari games yang hanya perlu duduk santai sampai level saling tindih menumpah air secara anarkis. Dari yang hanya tebak gaya sampai saling menepok wajah sendiri dengan pupur secara brutal. MOS yang penuh games itu menghabiskan dua hari yang tak bisa dilupakan.
Sedang satu hari terakhir kami disuguhi out bond mengelilingi areal pesantren yang dijalari perdu dan penuh sabat. Bukit landai yang ditumbuhi kelapa dan kebun salak yang dekat dengan kuburan. Kesyukuranku adalah aku mendapatkan anggota yang bisa diandalkan, mulai dari yang gesit hingga grasak-grusuk dan yang diam tapi banyak akal. Kami tersesat, bahkan sampai tingkatan bertengkar ditengah jalan tentang jalan yang benar, juga diperintah mencari kelapa busuk yang disembunyikan, mencari orang, hingga memanjat kelapa kuning dengan sistem kerja sama, jadilah perintah itu menjadi ajang saling injak pundak yang mengerikan. Pemimpin utama yang bertugas paling atas adalah temanku yang ramping dan grasak grusuk. Belum genap lima menit, kelapa sudah gedebuk ketanah. Kami yang bertugas memopong meringis diinjak kaki kecilnya, bahu kami nyut-nyut. Hasil dari “kerja keras” kami itu diperintahkan untuk dibawa ke pos terakhir. Hati kami berbunga, dalam hati tumbuh harapan mungkin untuk diminum bersama.
Sampai ke post yang terakhir, kenyataan terkikik geli atas harapan kami karena kami malah dituding mencuri kelapa yang bukan hak kami. Temanku yang bertugas memegang kelapa bergetar halus, kepalanya ditekan dalam-dalam. Kami dimarahi habis-habisan dan dihukum mengunyah pucuk jambu yang bukan main pahit. Aku senyam-senyum memperhatikan kelompok lain yang baru saja sampai setelah kelompok kami, ada yang diteriaki karena minum berdiri, ada yang membawa kelapa busuk didalam bajunya, ada yang dihukum dsb.. Saat asyik senyam senyum sembari menikmati sisa pucuk jambu didalam mulut. Suara melengking seniorku mengagetkanku. Aku diomeli karena dianggap tidak melindungi anggota kelompok karena malah tersenyum geli sendiri dan tidak merasa bersalah atas hukuman yang diderita mereka. Akhirnya aku resmi menyandang gelar baru: “ketua watados” wajah tanpa dosa. Ini adalah salah paham besar. Sungguh. :D   
Pemberian gelar itu sekaligus menjadi akhir dari out bond kami hari itu, kami kembali dengan wajah pias ke asrama. Lelah menjajah tubuh kecil kami. Jadilah kami terkapar bak teri pantai yang dijemur sembari menunggu antrian mandi.
Setelah shalat Isya rampung, rencana untuk segera bercumbu dengan kasur gagal total. Tiba-tiba kami dikumpulkan serentak dimushalla, semua santriwati baik yang baru maupun yang lama. Alasan dibalik ini semua cukup mengejutkan, kasus pencurian! Salah satu mudhabbirah kehilangan uang. Dan tentu saja mencuri tidak ditoleransi dipesantren. Aku duduk tenang-tenang saja, karena yakin bukan aku yang mencuri. Tapi keyakinan itu dikoyak-koyak setelah sedetik senior berwajah cantik didepan menyebut namaku. Ia melotot geram. Aku belum sepenuhnya sadar, kenapa aku dipanggil. Tapi ketika ia setengah berteriak menyebutku (lebih tepatnya memfitnahku) mencuri. Aku menggigil. Teman-teman ku menatap tak percaya. Kakak tingkat yang duduk melingkar menatap sinis, tak percaya anak lugu diawal tahun saja sudah berani mencuri.
Aku diseret keasrama, disana aku dibimbing kedepan lemariku. Aku bersumpah berulang kali, didepan seniorku itu tapi ia jutek tak menanggapi. Aku memelas, memohon bahkan setengah mengemis untuk dibebaskan dari tuduhan yang tidak berperikemanusian ini (oke, ini lebay). Tapi ia menatapku tajam, cantiknya luntur diganti wajah tegas yang jahat. Ia mengobrak abrik lemariku, tepat dibawah selipan baju tidurku uang 50ribu melayang terbang diudara. Aku bisu, tidak mungkin. Aku bersumpah demi apapun aku tidak pernah menyentuh apa yang bukan milikku. Keluargaku memang tidak kaya, tapi aku tak akan mencuri barang orang lain. Menyentuh saja tidak berani apalagi sampai mengambil. Aku bersumpah sambil menangis, meminta ia mendengarkan alasanku. Tapi seniorku itu malah menarikku kemushalla tempat semua santri masih berkumpul. Terjadilah adegan tarik-menarik antara aku dan seniorku itu. Aku tidak mau dituduh tanpa alasan dan dipermalukan dengan tuduhan keji itu. Tapi apa daya dengan tubuh kecilku saat itu, aku kalah tenaga. Aku diseret paksa kemushalla sambil menangis.
Sesampai dimushalla, semua santriwati menatapku lekat-lekat, akhirnya aku memilih menangis sambil menutup mata. Malu dan merasa keji. Sampai tiba-tiba benda aneh terasa menggantung ditubuhku dan bertakhta dikepalaku. Aku membuka perlahan tangan yang menutupi wajahku, semua wajah yang menatapku tajam tadi berubah sumringah penuh senyum. Memelukku dan mengucap maaf pelan. Aku membaca benda aneh yang terdiri dari juntaian puluhan permen ditubuhku, “Miss Orientasi”. Gelar yang diberikan kepada peserta pilihan terbaik dalam masa orientasi. Sontak saja aku lega bukan kepalang, ternyata panitia ospek bersekongkol mengerjaiku hingga merengek. (Dan sumpah, ngerjainnya nggak asik :v) Sebenarnya aku menyesali sikapku, andai aku bersikap cool dan santai saat tuduhan itu dilayangkan. Mungkin aku tidak dikikiki geli senior-seniorku setelah peritiwa itu itu.
Ah.. waktu begitu cepat berlalu.
Panjang sebenarnya jika harus kurangkai semua episode kami dipesantren. Cukup intro saja untuk saat ini.
Tahun-tahun setelahnya aku mulai berubah, dari seorang santri yang tak henti mengeluh menjadi santri yang begitu mencintai gelar yang disandangnya.
Aku banyak mendapatkan pelajaran yang mungkin tidak akan kudapatkan diluar saat menjadi santri, aku bisa mengurus kepeluanku secara mandiri, mengatur keuangan, tidak lagi cerewet masalah makanan, bersyukur dengan semua keadaan, aku tidak lagi mengeluh masalah jarak yang harus kutempuh kesekolah karena ternyata banyak hal yang bisa kulakukan saat sedang dalam perjalanan, bercerita kepada teman sampai menghafal qur’an dan belajar. Aku juga sudah tak terlalu ingat keluhanku perihal kamar mandi yang jauh itu. Aku menikmati semuanya dengan senang hati, jilbab segi empat juga sudah bisa diajak berkolaborasi dengan bentuk wajah. Tidak lagi tanpa bentuk seperti dulu.
..
Memoar kenangan itu seolah mengepak terbang keangkasa malam ini, berhambur berserak dalam rimba pikirku, ingin rasanya mereka ulang segalanya. Melewati hari dengan hati ringan bersama kalian, menikmati nasyid yang menggema dari jantung sound system yang menggema dibalkon asrama, atau hanya duduk menunggu maghrib seraya membaca lembar demi lembar mushaf kecil kita dan saling memuraja’ah hafalan tahfidz Al-Quran yang sering kali tersendat bersama. Rindu rasanya makanan asrama yang berkuah itu, ingat saat kita duduk melingkar dan menyantap menu sederhana itu dengan penuh syukur. Ingin rasanya menyaksikan kembali pentas seni dan muhadhoroh rutin setiap malam minggu dimushalla kecil kita. Atau agenda tak resmi kelas kita diminggu pagi, mancing dirawa besar dibelakang ma'had. Makan satu kelas dalam nampan besar yang membuat ibu dapur mendumel tak jelas, agenda jurik yang memacu andrenalin, juga acara buat seblak yang selalu berakhir dengan sakit perut jama’ah.
Ah..aku bahkan tak tahu, jika semua hal kecil yang kita kecap bersama dulu, membuatku meringkuk rindu sekarang. Bahkan terasa terlalu menyesakkan jika harus kuronce semuanya, membuatku semakin dirundung rindu untuk kembali menikmati setiap denting peristiwa bersama kalian.. (Mardha Sazaen)
…     
Aku bersyukur menjadi bagian anak muslim yang pernah menyandang status “santri”, bagaimana denganmu? 
Ananda jangan ragu untuk menjadi santri.. Insya Allah, sangat-sangat bermanfaat.

#YukNyantri     

0 komentar:

Posting Komentar